Kamis, 17 November 2011

Benalu Maninjau dan Kelok Ampek-ampek

Beritahu Teman Anda Tentang Web Ini Print Download artikel ini dalam format PDF
Jika manusia mau sedikit saja belajar dari hikmah alam yang diberikan kepadanya, maka hidup ini barangkali akan lebih nyaman dilakoni. "Alam takambang jadi guru", pepatah Minang memberi petunjuk kearifan hidup.
Artinya, alam terkembang menjadi guru. Dari alam kita dapat belajar banyak hal, bukan saja untuk hidup dalam satu ekosistem yang menyejahtera kan, tetapi alam juga memberi kearifan dan kecerdasan yang luar biasa unggul. Pergi ke ranah Minang atau daerah-daerah pedalaman lain yang alamnya relatif masih belum terdera habis-habisan oleh ulah buruk
manusia-apabila kita jeli mengamati-akan kita dapati begitu banyak hal yang menuntun kita kepada kecerdasan hidup yang mengagumkan.
Beberapa waktu yang lalu Uda Jufrie, sahabatku dari ranah Minang, mengajakku memanjati punggung Bukit Barisan melalui "jalan menunju ke langit" Kelok Ampek-ampek yang menanjak terjal-meliuk tajam dari lembah Danau Maninjau sampai ke koto (artinya dataran) atap langit Puncak Lawang di wilayah Agam-kurang lebih 25 kilometer arah barat daya Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Elok nan menakjubkan tiada dua wilayah itu. Keelokan Danau Maninjau tak kalah dari keindahan danau-danau di Luzern, Zurich, atau Geneva (Swiss) yang terkenal di seluruh dunia.

Dari arah Padang, Kelok Ampek-ampek berada di ujung lingkaran Danau Maninjau, memanjat-meliuk tajam ke kiri ke kanan menapak langit Bukit Barisan. Sebaliknya, dari arah Bukittinggi, Kelok Ampek-ampek akan meliuk terjal menuruni punggung Bukit Barisan menuju lembah Danau Maninjau yang hijau makmur bagai lembah surgawi.
Dari lembah Maninjau, jalan tembus menjulang langit yang berkelok-kelok itu disebut Kelok Ampek-ampek karena berkelok-kelok naik menikung tajam sebanyak 44 kali. Sebenarnya ada lebih dari 44 tikungan tajam di sepanjang jalan tembus langit itu, tetapi beberapa kelok tak dihitung menjadi bagian dari Kelok 44, karena tak menanjak cukup tajam seperti ke-44 kelok yang sebenarnya.

Seluruh tikungan tajam yang berada di Kelok Ampek-ampek itu bersambung terus-menerus tanpa jeda sepanjang kurang lebih 10 kilometer. Dengan lebar jalan sekitar 3 sampai 3,5 meter tanpa median atau pagar pembatas di kiri-kanan tebing curam, jalan bikinan pemerintah kolonial Belanda itu menjadi jalan tembus Maninjau-Puncak Lawang-Bukittinggi.
Di Puncak Lawang itulah konon terjadi pertemuan bersejarah antara Tuanku Imam Bonjol dan mantan Panglima Perang Pangeran Diponegoro-Pangeran Alibasyah Sentot Prawirodirjo-untuk melanjutkan perlawanan bersama menentang pemerintah kolonial Belanda.
Etika Kelok Ampek-ampek
Karena ketajaman tikungan yang terjal berkelok-kelok naik terus-menerus tanpa henti, tak semua kendaraan pribadi maupun umum berani melewati jalan tembus langit itu. Apalagi di petang dan malam hari. Di samping kabut atau hujan akan menghadang kekelaman bukit, di kiri-kanan jalan sempit bertebing curam yang ditumbuhi pohon-pohon lebat yang tinggi-tinggi itu akan juga siap menjadi terminal akhir bagi para pengemudi kendaraan bermesin yang sembrono untuk berani melewati punggung Bukit Barisan tanpa kewaspadaan tinggi dengan kualifikasi teknik sopir kelas satu.

Telah sering terjadi kecelakaan fatal di daerah Kelok 44, semata-mata karena medan yang tak gampang dan kekhilafan sopir kendaraan. Kondisi mesin, ban, rem, kopling, persneling, lampu kendaraan, pembersih kaca depan-belakang- yang tak prima-menjadi penyebab utama kecelakaan yang berujung maut. Di samping keterampilan teknik dan pengalaman mengendara, diperlukan kesigapan reaksi mental dan kebugaran kondisi tubuh yang baik untuk menembus Kelok Ampek-ampek yang menakjubkan sekaligus menakutkan.
Sedikit saja meleng, tidak waspada, atau melanggar "aturan", maut akan siap menerima tamu Kelok 44 yang sembrono di jalan tembus langit itu. Maka bagi para pengendara di kelok maut yang menegangkan itu berlaku kesepakatan sopan santun dan aturan jalanan tak tertulis yang mutlak harus dipatuhi bersama.
Kiat aturan jalanan Kelok Ampek-ampek itu sederhana saja acuannya. Jika dua kendaraan atau lebih berpapasan, maka "aturannya" adalah karena yang datang dari bawah tak sepenuhnya bisa melihat yang datang dari atas, maka (kendaraan) yang datang dari bawah harus memberi kode kehadiran dengan membunyikan klakson berulang-ulang; sementara (kendaraan) yang datang dari atas harus stop (mutlak berhenti!) untuk memberi jalan (ruang bergerak) bagi (kendaraan) yang datang dari bawah. Jika kesepakatan dan aturan tak tertulis itu dilanggar, maka chaos akan segera terjadi, dan tebing maut adalah dendanya.
Itulah egalitarianisme mupakek (mufakat) ala Minang sebagai reaksi yang tumbuh karena kondisi alam yang harus dipahami. Kata-kata "kendaraan", "mutlak berhenti!", dan "ruang bergerak" sengaja ditulis dalam tanda kurung karena kita dapat belajar bahwa hikmah "aturan" tak tertulis Kelok Ampek-ampek itu sesungguhnya secara politik, sosial, dan budaya, etosnya dapat diterapkan secara umum. Yaitu bahwa "yang di atas harus memberi jalan bagi yang di bawah". Jabarannya jelas. Yang kuat harus melindungi yang lemah, yang kaya memberi yang miskin, yang kuasa mengayomi yang tak berdaya.
Saya menamai hikmah alam Bukit Barisan itu sebagai Etika Kelok Ampek-ampek, yang implikasi spiritnya menyangkut human solidarity, sistem egalitarian dan demokrasi yang saling menghormati. Dapatkah masyarakat dan pemerintahan baru yang dicita-citakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil hikmah Etika Kelok Ampek-ampek? Bila tak, alam Maninjau juga dapat memberi cermin kebatilan sebagai bias hidup yang tak baik untuk dianut.
Benalu Maninjau
Mulai dari lembah Maninjau yang subur dan menyejukkan itu, di kiri kanan sepanjang tanjakan Kelok Ampek-ampek tertancap pohon-pohon tinggi hutan tanaman, yang dari akar sampai pucuk rimbunan daunnya tak jarang menembus ketinggian daratan jalanan. Tinggi sekali pohon-pohon itu untuk bisa meraih sinar matahari dan mengisap embun basah udara.
Dengan seluruh batang, dahan dan rantingnya, pohon-pohon itu dari tancapan akarnya yang paling dalam di dasar tanah sampai pucuk-pucuk daunnya di ketinggian angin berjuang untuk mengisap energi kehidupan yang mereka perlukan untuk bisa hidup sebagai tanaman alami.
Betapa dramatisnya perjuangan hidup florani itu untuk menarik batang dan daun-daun dirinya tinggi-tinggi agar bisa mendekati sinar kehidupan matahari dan zat basah oksigen air dan udara di langit terbuka. Upaya itu tentulah bukan perjuangan yang sederhana karena mereka harus saling berebut kehidupan di antara sesama tumbuhan. Makin tinggi makin perkasa, kesannya.
Namun, di ketinggian pucuk batang-batang pohon yang tampak perkasa itu, tak jarang kita jumpai berbagai pohon benalu yang hijau subur bertengger melingkar pucuk batang, atau melilit-lilit batang pohon dari atas sampai ke bawah.
Pohon-pohon benalu yang tampak begitu subur kehijau- hijauan itu tak perlu banyak berjuang untuk hidup karena hajatnya disedot gratis dari pohon-pohon besar yang merintis hidup mereka dari bawah dasar tanah sampai ketinggian udara terbuka yang lega.
Alangkah nyaman dan gampangnya hidup benalu-benalu pohon itu. Kurang ajar. Mereka seperti penumpang kereta gratis tanpa tiket, atau penghuni rumah mewah serba service tanpa bayar. Alangkah nyamannya hidup benalu Maninjau itu?
Saya bertanya kepada Uda Jufrie, siapa tanam itu benalu? "Burung," jawabnya singkat. Burung-burung bertengger di ranting, daun, atau batang pohon. Kuku kakinya-secara tak sengaja-menancapkan akar pohon benalu yang terbawa secara alami, entah dari mana asalnya. Benalu-benalu tumbuh subur menjadi sarang berbagai jenis ulat dan insek daun dan kayu. Pada gilirannya, di sarang benalu itulah burung-burung menyantap ulat-ulat dan insek mangsanya untuk menyambung kehidupan, kata Bang Jufrie.
Terjadilah mekanisme siklus isap-mengisap kehidupan di antara pohon-benalu-ulat dan burung, kataku menyimpulkan.
Akan tetapi, batang pohon di mana benalu itu bertengger atau melilit adalah penderma sekaligus penderita tunggal dalam sistem siklus isap-mengisap kehidupan itu. Batang-batang pohon itu sama sekali tidak mendapat profit apa pun yang dapat dimanfaatkan bagi dirinya.
Siklus isap-mengisap "benalu Maninjau" inilah yang sering tercermin dalam kehidupan manusia. Pada beberapa pohon di hutan tepi Kelok 44, terlihat ada pucuk, daun, ranting, dan dahannya yang meranggas karena pengisapan benalu yang "tak tahu diri" itu. Kurang ajar! Sangat berbahaya dan tak boleh menjadi contoh hidup.
Siklus isap-mengisap benaluisme itu juga sedang terus berlangsung di negeri ini. Dalam konteks kehidupan nyata kita sehari-hari, batang pohon yang menjadi sumber sistem siklus isap-mengisap kehidupan itu adalah Tanah Air di mana republik dan negara ini didirikan.
Kepada sahabatku yang lain, Bang Rajab bin Fahmi al Atas, yang mengikuti piknik Danau Maninjau di bawah Kelok Ampek-ampek itu aku berfatwa, "Batang pohon yang menjadi pokok sumber pengisapan itu kita tahu adalah Tanah Air Republik ini. Cobalah abang cari tahu, siapa berperan sebagai benalu, siapa berperan sebagai ulat, dan siapa burung-burung penanam benalu dan pemangsa ulat itu, di negeri ini ?"
Pemimpin baru, pemerintahan baru, harapan baru, dan perubahan yang dijanjikan. Semoga "benalu Maninjau" yang banyak hidup dan tersebar di seluruh Republik ini tak menjadi contoh buruk yang semakin ditiru para pemimpin dan rakyatnya, karena benalu-benalu itu akan meranggaskan pohon- pohon perkasa yang tumbuh di hutan-hutan yang subur.
Sekilas perjalanan di ranah Minang, terpetik pelajaran berharga dari "Alam takambang jadi guru" dalam kiasan bertuah Etika Kelok Ampek-ampek dan benalu Maninjau.
SUKA HARDJANA Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar